Loading...
Monday, February 23, 2015

KH ABDULLAH SYAFI'I

Mengajar dari Kandang Sapi sampai Universitas
OLEH: AGUNG PRIBADI

Dahulu kala pertandingan sepak bola di Senayan selalu dimainkan bertepatan dengan waktu Maghrib. Lalu K.H. Abdullah Syafi’I menegur PSSI dan pengelola Gelora Senayan. Sejak Teguran Kiai yang kharismatik ini pertandingan sepak bola selalu dimainkan pukul 19.00 atau 19.30 atau tidak lagi bertabrakan dengan waktu Shalat Maghrib. Di sini terlihat betapa beraninya Pak Kiai menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Pada masa beliau menjadi ketua MUI DKI pun PPP menang di Jakarta. Juga pada pemilu 1955 Masyumi menang di Jakarta, keduanya adalah Partai Islam. Lagu Musabaqah Tilawatil Qur-an yang sekarangpun dulunya -dengan syair yang digubah oleh almarhum K.H. Abdullah Syafi’I- mempunyai syair tegakkan syariat Islam akan tetapi kemudian pemerintah Orde Baru ketakutan lalu memerintahkan mengganti syair lagu itu menjadi lagu Musabaqah tilawatil Qur-an dengan syair yang seperti sekarang tanpa ada seruan menegakkan syariat Islam.
Kiai yang di Betawi dipanggil Kiai Dulloh ini dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1910 di kampung Bali Matraman, Manggarai, Jakarta Selatan. Beliau adalah putra dari seorang yang teguh dan tekun di bidang agama yakni K.H. Syafi’ie bin H. Saizan.
Pendidikan Kiai Dulloh, sejak kecil telah tekun mendatangi kiai-kiai untuk menimba ilmu, di antaranya kepada kiai Marzuki di Jakarta. Kiai Dulloh (Abdullah Syafi’I) sejak kecil memang bercita-cita menjadi ahli mengaji, dakwah, dan pidato. Kiai Dulloh juga murid Habib Ali Al Habsji, pemimpin Majelis Taklim Kwitang, Jakarta. Secara formal pendidikan Kiai Dulloh hanya sampai kelas dua SD atau Sekolah Rakyat. Pada umur di atas lima belasan anak desa Bali Matraman ini termasuk orang yang paling rajin menghadiri Majelis Taklim Habib Ali Al Habsji. Apabila berguru ke Kwitang, dia sering diantar naik sepeda “Raleigh” (sepeda kumbang) warna hijau oleh banyak teman-temannya. Di antaranya pemuda Tohir Rohili yang nantinya mendirikan Perguruan Ath Thahiriyah tidak jauh dari perguruan yang nantinya didirikan oleh K. H. Abdullah Syafi’i.
Di antara sekian banyak murid putra Jakarta yang giat mendalami pendidikan agama, pemuda Abdullah Syafi’I termasuk paling aktif berguru. Dia menuntut ilmu bukan saja dalam bahasa Indonesia, melainkan dalam bahasa Arab yang dipelajarinya di Jakarta tanpa pergi ke Timur Tengah.
Abdullah Syafi’I, belajar tafsir, nahwu, ilmu kalam, dari mufti Johor Sayyid Alwi bin Tahir yang saat itu sedang ddi Jakarta. Belajar tashawuf dari Habib Alwi Alhadad Bogor.
Ketika memasuki usia remaja yaitu 17 tahun di dalam diri Abdullah Syafi’I sudah timbul keinginan untuk belajar sambil mengajar. Untuk menunjang keinginan tersebut, kandang sapi berikut seekor sapi lalu dimanfaatkan. Sapi itu dijual untuk dijadikan modal pembiayaan, sedangkan kandangnya diubah menjadi suatu tempat semacam Mushalla. Di Mushalla itulah Abdullah remaja mulai mengajarkan berbagai pengetahuan dasar agama Islam, kepada lima orang murid yang usianya relatif lebih tua dibanding usia Abdullah. Pelajaran-pelajaran yang diberikan kepada murid yang terbilang sangat awam dan sama sekali belum mengenal agama itu, antara lain tentang hadas besar, misalnya apabila ada pasangan sehabis melakukan hubungan suami istri wajib untuk mandi junub. Saking jahilnya masa itu sampai-sampai sang guru Abdullah Syafi’I yang masih remaja itu mempraktekkan cara mandi junub tersebut kepada muridnya. Di samping kejahilannya sang guru yang lebih muda dari muridnya itu juga murah hati memberikan kain sarung plekat untuk shalat kepada para muridnya. Kemudian pada usia itu juga atau pada tahun 1927, Abdullah Syafi’I telah membuka madrasah, dan giat memasuki kampung-kampung dengan naik sepeda kumbang untuk memberikan pengajian kepada umat Islam, di samping tetap belajar.
Umur 23 yakni tahun 1933, Abdullah Syafi’I atau Abdullah bin Syafi’I berhasil mendirikan masjid yang dinamai Masjid Al Barokah di kampung Bali Matraman, di lokasi dekat madrasah kecil yang dinamai Madrasah Islamiyah. Dengan Masjid baru itu kegiatan keagamaan bisa diorganisir. Pendidikan di madrasah dipimpin langsung Abdullah Syafi’I sedangkan pengajian ibu-ibu dipimpin istrinya Ruqayyah. Sedangkan madrasah Islamiyah itu sepeninggal ayah Abdullah yakni K. H. Syafi’I pada tahun 1957 dinamai Madrasah Asy Syafi’iyah dengan maksud nasaban wa madzhaban yakni mengambil nama orangtuanya K.H. Syafi’I (nasab) dan madzhab Syafi’I Imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kebesaran Abdullah Syafi’I yang kemudian dikenal dengan nama K.H. Abdullah Syafi’I adalah dari ilmu yang diperolehnya dan diamalkannya, sehingga pada akhir tahun 1960 Abdullah Syafi’I memperoleh amanat dari Habib Ali Al Habsji, yang tidak diperoleh siapapun. Habib Ali Kwitang mempercayakan bahwa Da’wah Islamiyah di Jakarta dan sekitarnya dipercayakan kepada Abdullah Syafi’I, yang diharapkan agar dikembangkan lebih lanjut. Putra-putra Habib Ali Al Habsji sekalipun tidak memperoleh amanat dari Habib Ali. Maka sejak 1972, K.H. Abdullah Syafi’I melaksanakan amanat Islamiyah tersebut, dimulailah Majelis Ta’lim Asyafi’iyah, diteruskan dengan madrasah-madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan bahkan hingga berdiri Universitas Islam Asy Syafi’iyah serta 33 lembaga pendidikan, 19 lembaga dakwah dan 11 lembaga sosial. Nama Majelis Ta’lim juga pertama kali dipopulerkan oleh K. H. Abdullah Syafi’i.
Peranan Kiai Abdullah di forum nasionalpun makin membesar, sehingga belaiu diangkat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI tahun 1974 dan seterusnya ketua Majelis Ulama Indonesia, lalu sebagai anggota badan pembina MUI Pusat.
Nama K.H. Abdullah Syafi’I bukan saja terkenal di Indonesia sebagai ketua Majelis Ulama, atau penasehat Komite Solidaritas Rakyat Indonesia-Afghanistan, melainkan juga sebagai Da’I (ahli dakwah) yang diterima segala golongan. Di luar negeri ia dikenal di kalangan Al Azhar University, di Tunisia di kalangan Zaituna University dan di Saudi Arabia sangat akrab dengan mantan rector Universitas Makkah Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki.
Setiap kali K.H. Abdullah Syafi’I mengadakan Majelis Ta’lim atau Mauludan, maka berbondong-bondonglah diplomat-diplomat berbagai negara muslim menghadirinya. Demikian pula halnya dengan tamu-tamu dari luar negeri seperti Prof Alawy Al Maliki, Sayyid Ahmad Shatari, Habib Abdul Kadir Assegaf, semuanya dari Hijaz (Arab Saudi). Belum lagi dari Jordania, Mesir, dan dari negara-negara muslim lainnya.
Dalam pernikahannya dengan H. Roqayyah beliau mendapat 4 anak, masing-masing Dra. H. Tuti Alawiyah (yang pada tahun 1998-1999 menjadi menteri sosial), K.H. Abdur Rasyid, K.H. Abdul Hakim dan H. Ida Farida. Sedangkan dari pernikahannya dengan H. Romlah beliau mendapatkan 9 anak.
Pada tanggal 3 September 1985 hari Selasa dini hari pukul 00.40 bangsa Indonesia kehilangan seorang ulama besar kaliber internasional K. H. Abdullah Syafi’I karena Allah memanggil beliau ke sisi-Nya. Jenazah ulama besar, terkemuka, dan penuh kharisma, serta dekat dengan masyarakat kecil itu disemayamkan Selasa Sore di kompleks Perguruan Islam Asy Syafi’iyah Jati Waringin, disaksikan ribuan pasang mata rakyat jelata, ulama, santri, dan pejabat. Ribuan manusia dari kalangan anak didik Asy Syafi’iyah dan masyarakat umum penggemarnya melepas dengan perasaan berat jenazah K.H. Abdullah Syafi’I dari Masjid Al Barkah Bali Matraman ke Jati Waringin. Iring-iringan mobil jenazah dengan ratusan kendaraan pengantar tersendat-sendat oleh masyarakat yang berjajar sepanjang jalan yang ingin melepaskan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir setelah sebelumnya ribuan pelayat secara bergelombang melakukan sholat jenazah silih berganti.
Pada saat-saat terakhir K.H. Abdullah Syafi’I masih menangani penyelesaian bangunan baru Masjid Al Barkah di kampung Bali Matraman yang juga merupakan monumen Asy Syafi’iyah di atas tanah seluas 5000 meter persegi dengan luas bangunan 40 x 40 meter.
Ajaran yang sangat melekat di dada K. H. Abdullah Syafi’I adalah Hadits Nabi Muhammad SAW, “Irhamu man fil ardhi, yarhamkum man fis samaa’ ” (Sayangilah orang yang di bumi, maka kamu akan disayangi oleh Yang di langit). Saking melekatnya hadits tersebut dalam jiwa dan perbuatan Kiai ini, maka ketika seorang ulama kaliber internasional, teman K.H. Abdullah Syafi’I yang menjadi ulama di Makkah dan Madinah bernama Prof. Dr. Muhammad bin Alawy Al Makki Al Hasani berkunjung ke pesantren Asy Syafi’iyah tahun 1985, maka dipersilahkan untuk mengajarkan hadits tersebut kepada jama’ah Majels Ta’lim hari Ahad, hadits ini dibacakan langsung dan ditirukan oleh jama’ah berkali-kali. Itulah salah satu landasan dari sikap K.H. Abdullah Syafi’I yang senantiasa cinta kepada agama dan cinta kepada sesama manusia dengan berbagai realisasinya.
Kiai Betawi ini cinta kepada sesama, cinta kepada agama, yang kedua cinta ini dipadukan, sehingga sopirpun ada yang diajari agar menjadi pemimpin agama. Bukan saja para ulama dan para santri yang dicintai, namun janda-janda dan orang tua yang belum kenal huruf Al Qur-an pun diajari. Kepada yang kecil memberikan harapan masa depan dan kepada yang tua mengingatkan tanggung jawab kepada Tuhan. Beliau sangat prihatin bila sudah nenek-nenek masih tertawa-tawa menonton tontonan di waktu Maghrib, misalnya dan tidak shalat. Berulang-ulang beliau berpidato tentang ancaman orang yang tidak shalat dengan menyebut Surat Al Mudatsir ayat 42-43.
Kecintaannya terhadap agama dan terhadap sesama, sangat melekat dalam kepribadiannya, hingga kiai ini sangat mengkhawatirkan rusaknya generasi mendatang, di bidang akidah, akhlak, syariah, dan ibadah. Untuk itu kiai ini sangat keras dalam menganjurkan pencegahan mabuk-mabukan minuman keras dan sejenisnya. Dakwahnya ini dilakukan di dalam dan di luar negeri.
Gagasan orisinal beliau yang lain adalah pesantren yatim di Jati Waringin. Ini adalah perluasan dari rumah yatim piatu Islam kemudian sekalian saja dibuat pesantren yaitu pesantren yatim. Beliau juga bisa berdakwah dengan segar dan lucu dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat bawah dan sering diselingi dengan istilah-istilah Betawi sehingga mirip dialog Lenong akan tetapi pesan agamanya sampai. Kiai ini juga bisa berdakwah kepada orang berpendidikan tinggi bahkan Profesor seperti Profesor dari Universtias Makkah yang telah disebut di atas. Berbeda dengan ulama sekarang yang banyak mempunyai dan menggunakan bahasa-bahasa akademik yang sussah dimengerti sehingga sering disalahpahami oleh mayoritas umat Islam. Demikianlah sosok ulama besar ini semoga kita bisa mengambil manfaat dari riwayat hidup beliau yang penuh dengan perjuangan.
Wallahu A’lam bish Shawab.

http://www.agungpribadi.com/blog/2013/10/26/kh-abdullah-syafii-mengajar-dari-kandang-sapi-sampai-universitas/

0 comments:

Post a Comment

 
TOP