Ahmad Zayadi Muhajir, tercatat sebagai salah seorang ulama yang tidak mau terlibat dalam dunia politik. Beliau dikenal sebagai ulama yang berakhlakul karimah, sabar, tawadlu, teguh dan sangat berusaha mencari keridhoan gurunya, sehingga wibawa dan kharismanya sangat tampak dan diakui oleh masyarakat luas baik para pejabat maupun masyarakat biasa.
Selain hidup bersahaja, ulama ini juga dikenal sangat menyayangi anak-anak yatim dan fakir miskin. Perhatiannya yang tinggi terhadap anak yatim dan warga kurang mampu itu, terbukti dengan ramainya anak yatim, fakir miskin dan parajanda yang datang ke Perguruan Islam Az-Ziyadah dan rumahnya untuk mendapatkan shodaqoh. Bahkan anak yatim dan anak yang kurang mampu lainnya yang sekolah di Az-Ziyadah dibebaskan dari bayaran bulanan.
Ada cerita menarik yang sekaligus mencerminkan ulama ini memiliki ilmu. Dalam perjalanan pulang berhaji dengan kapal, kapten kapal memberitahu tentang adanya badai besar yang tidak bisa dihindari. Kapal mungkin akan tenggelam karena topan yang menghadang sangat dahsyat. Gelombang sangat besar sekali. Pemberitahuan yang disampaikan sang kapten membuat para penumpang ketakutan. Kiai Ahmad Zayadi kemudian meminta izin pada sang kapten untuk memlmpm membaca maulid berjanji bersama penumpang kapal lainnya. Maulid berjanji pun dibacakan hingga selesai. Setelah selesai membacakan maulids berjanji, ternyata badai telah berlalu, jauh berada di belakang kapal.
Selama hidupnya, wiridan yang kerap kali dibacanya adalah Ya Latif kapan dan di mana saja ia berada. Setelah shalat Magrib di manapun ia berada selalu membaca Ratibul Haddad. Usai shalat Magrib, Isya dan Subuh ia selalu mengakhiri dengan Basmalah 21x, Al-Ikhlas 3x, Al-Falaq dan An-Nas masing-masing sekali. Jika Surat Yasin dibaca setelah shalat Subuh, Surat Al-Mulk dibaca setelah shalat Isya dan surat Waqiah dibaca setelah shalat Ashar. Hal itu ia baca secara istiqomah dan dianjurkan kepada murid-muridnya. Setelah shalat Jum'at secara berjama'ah ia selalu membaca Al-Fatihah 7x, Al-Ikhlas 7x,Al Falaq 7x dan AnNas 7x serta Ilahi lastu lilfirdausi Ahlaa sampai akhir sebanyak 7x. KH. Zayadi juga sering melakukan sholat-sholat sunah seperti shalat hajat, istikharah, tahajjud, tasbih, witir, dhuha dan rawatib.
Atas dorongan gurunya, KH. Muhammad Thohir Cipinang Muara dan KH. R. Mustaqiem Rawabening Jatinegara, KH. Zayadi Muhajir kemudian mendirikan Pondok Pesantren Az-Ziyadah pada tahun 1943. Tujuan pendirian pondok pesantren tidak lain adalah untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran agama dan membentengi umat Islam dari kebudayaan Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pada mulanya pesantren Az-Ziyadah hanya terdiri dari sebuah masjid yang sederhana peninggalan dari buyut KH. Zayadi, yaitu Dato KH. Muhammad Sholeh. Saat itu santrinya hanya 15 orang yang berasal dari Kampung Tanah, Klender. Dua tahun kemudian, KH. Zayadi bersama masyarakat secara bergotong royong membangun tempat pengajian dan pondokan kemudian pada tahun 1948 membangun asrama para santri yang permanen. Bangunan dalam komplek pesantrennya, termasuk masjid, dirancang sendiri oleh KH. Zayadi dan dia sendiri pula yang mengurus manajemen pondok pesantren Az-Ziyadah.
Pada tahun 1970, KH. Zayadi kembali membangun gedung madrasah dan asrama santri dengan bangunan permanen dan bertingkat. Kemudian pada tahun 1971 secara resml Az-Ziyadah mengubah sistem dari sorogan ke klasikal dengan membuka Madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyyah hingga Aliyah. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, KH. Zayadi Muhajir mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Az-Ziyadah pada tahun 1991. Semua bangunan tersebut merupakan hasil swadaya mumi masyarakat, tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah baik dalam maupun luar negeri.
Ahmad Zayadi dilahirkan Kampung Tanah, Klender, Jakarta Timur. Ayahnya bernama, H. Muhajir bin Ahmad Gojek bin Dato KH. Muhammad Sholeh bin Tinggal adalah orang Banten. Dato KH. Muhammad Sholeh, buyut Kiai Ahmad Zahidi, dikenal dengan nama Mualim Ale yang hijrah serta dari Banten ke Betawi. Tokoh ini menetap di Kampung Tanah 80. Rumah Dato KH. Muhammad Sholeh pada waktu itu berlokasi di sekitar Madrasah Az-Ziyadah sekarang. Sedangkan ibunya, Umi Anisah berdarah Betawi. Jadi Ahmad Zayadi Muhajir seorang ulama berdarah Banten dan Betawi.
Semenjak kecil, Zayadi adalah seorang yang bersih dari perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan yang tidak berguna. Ia lebih suka belajar, mengajar, beribadah dan perbuatan yang berguna lainnya daripada berpolitik dan segala perbuatan yang bersifat duniawi lainnya.
Pada tahun 1938, ketika Zayadi berusia 20 tahun dan masih mengaji di Cipinang Muara, ia dinikahkan dengan Hj. Asmanih, putri H. Kirom oleh gurunya, KH. Muhammad Thohir. Walau telah menikah, ia masih terus mengaji di Cipinang Muara. Setelah bertahun-tahun berkeluarga, Zayadi belum mempunyai keturunan hingga akhimya pada hari Sabtu, 22 November 1986 pada uSia pernikahan yang ke- 48 tahun, istrinya, Hj. Asmanih meninggal dunia dengan tidak memberikan keturunan.
Sebulan kemudian, KH. Zayadi menikah dengan Siti Fatimah putri KH. Hasbiyallah Klender, ternan sekampung dan sepengaJlan Zayadi sewaktu di Rawa Bangke dan Cipinang Muara. Ketika itu, Siti Fatimah berumur 17 tahun dan masih belajar di At-Taqwa dan KH. Zayadi sudah berusia 68 tahun. Pernikahannya dengan Siti Fatimah Hasbiyallah untuk memenuhi permintaan KH. Hasbiyallah sewaktu mengaji di Muara juga keinginan KH. Zayadi sendiri untuk mempunyai keturunan serta atas dorongan dan tawaran KH. Nur Ali. Pasangan KH. Zayadi dengan Siti Fatimah Hasbiyallah dikarunia empat orang putra, yaitu Muhajir, Sholahuddin, Ali Ridho dan Imam Husnul Maab.
KH. Zayadi wafat di usia 76 tahun di Mushalla Uswatun Hasanah yang terletak di kaki Gunung Sembung, sesaat setelah melaksanakan sholat Jama' Taqdim sekitar jam 13.30 WIB. KH. Zayadi berangkat ke Gunung Sembung dalam rangka ziarah sembilan wali yang diadakan rutin setiap tahun semenjak tahun 1974. Pertama kali yang mengetahui KH. Zayadi wafat adalah H. Muhammad Yasin Cilungup Duren Sawit, Subhan Asmat dan Bilaluddin. Jenazah almarhum dibawa ke Jakarta untuk kemudian dimakamkan di komplek Masjid Jami, di dekat rumah almarhum
0 comments:
Post a Comment